Yuli Sumule jongkok menyentuh ujung daun padinya yang masih basah setelah hujan ringan sore itu. Padi yang satu ini memang spesial. Sangat istimewa dan harus disayang-sayang. Karena bukan cuma kedelai hitam malika yang dirawat seperti anak sendiri, Padi SRI juga.
Sumule adalah Ketua Kelompok Tani Mina Padi Manggis di Desa Ledu-Ledu, Kecamatan Wasuponda, Luwu Timur.
Salah satu dari 109 petani di Luwu timur yang mengembangkan pertanian sehat ramah lingkungan. Metode bertani berlabel padi SRI (System of Rice Intensification) organik diperkenalkan melalui Program Terpadu Pengembangan Masyarakat (PTPM) oleh PT Vale Indonesia Tbk sejak 2015 silam.
Awalnya ia tidak begitu tertarik dengan padi organik. Tiga tahun lalu itu, ia dan petani lainnya masih di zona nyaman dengan kebiasaan menggunakan bahan kimia. Efeknya lebih instan dan perawatannya tidak seintens bertani organik.
Setelah mencoba-coba melalui demplot bersama dengan petani lain, ia melihat perbedaan dari hasil panennya. Dari situlah Sumule serius mengikuti pelatihan dan pendampingan secara berkelanjutan sampai akhirnya mengerti tata cara pengelolaan padi organik.
“Ini komposnya. Proses pembuatannya cukup panjang,” kata Yuli Sumule saat memperlihatkan tumpukan adonan kecokelatan di kolong rumah panggung.
Penjelasan mendetail lelaki paruh baya itu mengisyaratkan, ia paham betul cara membikin unsur hara buatan untuk padi tersebut.
“Kita ambil daun hijau, jerami, kotoran hewan, sekam padi, abu gosok, batang pisang. Lalu ditambahkan ramuan dari MOL nasi (nasi fermentasi, red), buah maja dan gula merah. Pencampuran ditakar lalu didiamkan 30 hari sampai membusuk sebelum siap digunakan,” urainya.
Sumule menceritakan, menuai hasil padi organik tidaklah sederhana. Sungguh harus telaten dan teratur. Padi benar-benar dirawat mirip anak bayi. Misalnya, rutinitas penyiangan yang wajib dilakukan agar pertumbuhan padi tidak terganggu.
Sumule lalu mengepal kedua tangannya, seperti memegang dua setir motor dan menarik rapat ke dadanya. Ia sedang memperaktekkan cara penyiangan menggunakan alat bantu yang terbuat dari kayu dengan ujungnya yang telah dimodifikasi untuk mengangkat gulma dan menggemburkan tanah. Rumput liar hilang, tanah gembur membantu padi menyerap nutrisi dari pupuk organik.
“Penyiangan setiap sepuluh hari. Itu wajib. Padi hanya ditanam sebatang saja, benihnya juga masih setinggi dua ruas jari, jika tidak ada penyiangan rutin maka rumputlah yang tumbuh. Ini cukup berat bagi yang terbiasa dengan racun. Sekali semprot, rumputnya langsung mati kan,” katanya, sambil memandangi koloni-koloni hijau mekar berbaris rapi, membentuk garis lurus membentang dari pematang ke pematang. Menyempurnakan perjalanan menuju air terjun mata buntu yang sisa ditempuh sekitar 15 menit lagi.
Untunglah, padi organik mengandalkan bahan-bahan alami, sehingga pestisida dan pupuk semuanya dibuat sendiri secara manual dengan memanfaatkan tanaman yang tumbuh di sekitar lingkungan. Sehingga, tak membutuhkan biaya besar.
“Semua bahan tersedia dan mudah didapat. Seperti daun gamal tumbuh banyak di kebun, keong itu juga kita manfaatkan untuk mengstabilkan pertumbuhan dan buah-buahan untuk perbaikan buah. Semua kita buat sendiri menjadi Mol (Mikro Organisme Lokal) yang dicampur dengan gula merah dan lainnya. Jadi tidak perlu lagi beli racun dan pupuk kimia. Biaya tetap ada tapi jauh lebih hemat,” tutur Sumule.
Semua metode tersebut diperoleh berkat terlibat dalam pembinaan, pelatihan serta pendampingan oleh tim penyuluh dan konsultan sebagai perpanjangan tangan PT Vale.
“Para penyuluh dan konsultan selalu mengadakan pertemuan rutin dengan kelompok tani. Mereka dengan ramah dan tanpa lelah memberikan pengetahuan-pengetahuan baru. Sehingga, kalau ada masalah bisa langsung dicarikan jalan keluar bersama-sama,” katanya.
Kedisiplinan dan keuletan petani dan pendamping program ini pun berbuah manis. Sumule mengaku padi lebih molek. Satu batang bibit organik mampu beranak hingga 83 batang, padahal non organik hanya 17 batang. Jelas efeknya ke jumlah dan bobot karung padi yang bertambah hingga dua kali lipat saat panen.
“Kalau yang biasa hasil panen rata-rata lima ton per hektar, nah organik bisa hingga sembilan hingga sebelas ton per hektar,” aku Sumule. Tiga orang petani di sampingnya membagi senyum menyusul ucapan itu.
Keuntungan tidak berhenti di situ. Kantong petani juga lebih tebal setelah panen. Harga yang lebih tinggi, menambah nilai produktivitas tadi. Untuk jenis beras santana dan mentik harum susu dijual hingga Rp15 ribu sampai Rp17 ribu per kilogram. Padahal jika metode konvensional, harganya hanya bertengger di angka tertinggi Rp9 ribu.
“Rasa memang beda. Pulen orang bilang. (Nasi,red) kimia juga cepat basi, kalau ini (organik,red) bisa tahan sampai dua hari,” ujarnya.
Teknik budidaya ini juga hemat benih, Sumule mengaku biasanya 25 kilogram untuk sawah satu hektar, ini hanya memerlukan 5 kilogram saja.
“Saya merasa beruntung bisa terlibat di program ini. Sejauh ini, petani lain di luar kelompok juga sudah mulai ikut karena melihat hasilnya yang menguntungkan,” tuturnya.
Di tempat yang sama, Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), Darlan menjelaskan, Mol berkontribusi menjadikan beras jauh lebih sehat. Kadar gula beras hanya 0,23%, sangat rendah jika dibandingkan beras konvensional, kadarnya sampai 30%.
Metode menggunakan keseimbangan agro-ekosistem sebagai pertahanan terbaik SRI organik ini, menciptakan keseimbangan rantai makanan. Sehingga rantai nutrisi dan lingkungan terjaga secara berkelanjutan.
“Penggunaan racun akan kena udara, air, mahluk yang ada disekitar termasuk manusianya. Tidak ada lagi keseimbangan. Musuh alami seperti laba-laba, tomket, capung jarum, parasitoit akan mati karena racun. Padahal, itu sahabat petani untuk memangsa hama,” sebutnya.
Hasil akhir, tambahnya, pendapatan petani meningkat, kesehatan masyarakat terjaga dan menumbuhkan kemandirian petani dengan memaksimalkan potensi lokal. Darlan mengaku pembinaan, pelatihan dan pendampingan pun terus digencarkan tim penyuluh di banyak desa yang ada di Luwu Timur, agar kemandirian ini bisa menular kepada lebih banyak lagi petani lainnya.
“Pembinaan diarahkan agar petani bisa benar-benar mandiri. Kalau ada masalah langsung bisa konsultasi dengan kami,” terangnya.
Sementara, Julianto Rizki Yansah, Fasilitator Pertanian Sehat berkelanjutan, mengatakan, pendampingan diawali dengan mengajak petani menganalisis kondisi lingkungan dari pemakaian bahan kimia. Lalu persiapan pembuatan mol dan kompos, pengolahan lahan, perawatan, termasuk masa panen agar menambah keyakinan petani sehingga hasilnya bisa maksimal.
“Kita dampingi sampai ke pemasaran,” akunya.
Pemasaran sejauh ini, beras organik dititip ke toko-toko dan beberapa agen di empat Kecamatan di Lutim. Kerja sama dengan koperasi Vale dan didukung oleh Bupati lewat surat keputusan yang mengimbau PNS mengkonsumsi beras organik.
“Jadi tiap bulannya kita suplai kantor kantor dinas yang ada di Malili Sebulan sekali ke sana,” tuturnya.
Selain itu, juga didukung oleh rumah sakit I Lagaligo dan Rumah Sakit Vale. Termasuk mendistribusikan ke sejumlah agen dan tokoh-tokoh di Sulsel khususnya di kota Makassar.
“Kita juga sudah terima pesanan dari Jawa. Tapi yang utama sih menyehatkan warga Luwu Timur dulu, karena ini beras kebanggaan Lutim,” tuturnya.
Lewat padi SRI, kata dia produktivitas meningkat, siklus nutrisi tanah terjamin. kesehatan lingkungan terjaga, lestari alamnya, sehat petaninya, aman produknya.
Hingga saat ini, pertanian organik berkelanjutan oleh PT Vale telah melibatkan 109 petani yang menggarap seluas 44,28 hektare dibantu 15 penyuluh pertanian. Area pengembangan di 6 kecamatan di Luwu Timur.
“Tiap tahun kami gelontorkan dana sekitar Rp36 miliar untuk pendukung PTPM, termasuk di dalamnya pengembangan organik ini. Total penerima manfaat sampai saat ini mencapai 41 ribu jiwa,” kata Laode M Ichman, Manager Sosial Pengembangan Program PT Vale Indonesia Tbk.
Ichman sapaannya bilang, pertanian berkelanjutan adalah wujud kemitraan strategis antara perseroan dengan pemerintah daerah lewat program PTPM.
“Sejak 2015, perusahaan membangun pusat informasi dan penyuluhan pertanian Organik bagi petani di daerah pemberdayaan. Tempat inilah yang jadi balai pertemuan,” katanya.
Ia melanjutkan, PTPM kini didorong ke skema baru, Program Pengembangan Masyarakat (PPM). PPM diamanahkan mengacu ke ‘blueprint’ pemerintah, yakni program yang dibuat pemerinrah provinsi dan daerah yang berangkat dari RPJMD Daerah dan Desa. Periodenya lima tahun ke depan.
“Hanya blueprint sampai sekarang belum ada. Tapi, sembari menunggu kita tetap duduk bareng dengan pemerintah, sehingga realisasi PPM tetap sejalan dengan program pemerintah. Sebab, kami yang menyesuaikan,” kuncinya. (hry).
sumber : http://upeks.fajar.co.id/2018/08/08/pt-vale-petani-dan-buah-manis-padi-organik/